Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Website www.alumni-sttind.com expired... mohon maaf atas ketidaknyamanan ini....

Idul Adha dan Semangat Pengorbanan



Oleh: KH Dr Tarmizi Taher

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkat, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu. Ia menjawab, ‘Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya). (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia, ‘Hai ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik,” (QS as-Shaffat [37]: 102-105).

Umat Islam kembali merayakan hari Idul Adha. Pemotongan hewan kurban menandai perayaannya. Sejauh ini hewan Kurban memang tidak bisa dilepas dari ritual Idul Adha. Dua tahun lalu ketika pemerintah berniat mengganti bentuk hewan kurban dengan kebutuhan pokok lainnya untuk korban bencana Tsunami di Aceh, sebagian tokoh-tokoh Islam bereaksi negatif. Hal ini menimbulkan polemik di antara tokoh-tokoh Islam. Bagi mereka yang tidak setuju mengatakan hewan kurban tidak bisa digantikan dengan makanan lain, karena ia merupakan bagian dari ritual Idul Adha. Sedangkan yang lainnya menegaskan bahwa dalam kondisi bencana hewan kurban bisa diganti dengan bentuk yang lebih dibutuhkan masyarakat.

Jejak Ibrahim Terlepas dari polemik itu, sepanjang sejarah perayaan Idul Adha, hewan Kurban memang menjadi bagian penting dari perayaan tersebut. Sejarah menceritakan bahwa asal mula ritual tersebut berasal dari Nabi Ibrahim. Beliau diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih anaknya, Ismail. Namun saat disembelih Ismail telah ditukar dengan seekor kambing. Peristiwa ini sebenarnya terkait dengan latar belakang budaya masyarakat sekitar Mekah yang mempunyai tradisi mengorbankan manusia untuk mendapatkan berkah dan anugerah dari Tuhan. Melalui Ibrahim dan Ismail Allah ingin mengkritik masyarakat bahwa pengorbanan manusia tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Prosesi pengorbanan Ibrahim dengan cara (akan) menyembelih Ismail merupakan peristiwa menarik sepanjang kehidupannya. Ibrahim sudah lama merindukan seorang anak, sehingga ketika istrinya (Siti Hajar) melahirkan Ismail, Ibrahim sangat senang. Namun di tengah suasana gembira itu, ketika Ismail telah beranjak remaja, Ibrahim diperintahkan untuk menyembelihnya.

Kesediaan Ibrahim untuk menjalankan perintah Allah merupakan pengorbanan. Ibrahim mengorbankan rasa bahagianya memiliki seorang anak. Pengorbanan itu beliau lakukan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan mulia, yaitu perintah Allah. Pengorbanan semacam itu akan sulit dan berat untuk dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki tujuan hidup yang mulia. Bagi mereka yang menjadikan segala kesenangan materi dan duniawi sebagai tujuan final akan kesulitan untuk menempuh kepahitan dalam menjalani hidup. Mereka akan lebih memilih kesenangan dan kenikmatan yang ada di depan mata. Kecenderungan ini dapat kita temukan dalam kehidupan sebagian besar masyarakat kontemporer, baik kota maupun desa.

Pandangan Visioner Pengorbanan membutuhkan kesediaan meninggalkan atau menunda kenikmatan jangka pendek. Kesediaan berkorban biasanya dilandasi oleh pandangan yang visioner. Yang melihat seluruh aktivitas hari ini sebagai persiapan dan agenda untuk menyongsong hari depan. Sebagaimana ditegaskan Allah “wa al aakhiratu khairul laka min al-uula” (dan sungguh yang terakhir itu lebih mulia ketimbang yang pertama). Ayat ini bermakna bahwa kenikmatan dalam jangka panjang yang akan diperoleh suatu saat nanti (masa depan) lebih utama, ketimbang berkubang dan terjebak dengan kenikmatan kekinian, yang hanya enak dalam waktu sekejap. Sebab kenikmatan jangka pendek biasanya berkorelasi negatif terhadap kenikmatan di masa depan. Seorang pemalas yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang, misalnya, memang mendapatkan kenikmatan, namun hal itu justru menjadi bumerang yang akan menyengsarakannya suatu hari nanti.

Kemalasan akan berbanding lurus dengan kebodohan dan kemiskinan. Sebaliknya, ketekunan dan kerja keras berbanding lurus dengan kecerdasan dan kesejahteraan. Betapa banyak masyarakat yang di masa mudanya bekerja giat dan tekun, di masa tuanya menikmati hasil. Betapa banyak pula yang di masa mudanya terlihat enak dan menikmati hidup dengan santai, namun mengalami kesengsaraan di kemudian hari. Semua ini dipengaruhi oleh kemampuan melihat apa yang harus dilakukan pada hari ini dan komitmen untuk menjalankannya. Hal mana sikap komit itu akan berdampak pada pengorbanan kesenangan dirinya.

Dengan demikian Idul Adha memang memiliki kandungan makna yang sangat kaya. Penggalian makna terhadapnya senantiasa terkait dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Jadi, tanpa harus terjebak dengan polemik hewan kurban, sejatinya umat Islam berupaya mengambil hikmah pengorbanan ini dan menerapkannya dalam hidup. Kemajuan suatu kaum ditentukan oleh sejauh mana kaum itu bisa menentukan cita-citanya, dan berusaha keras untuk menggapainya.(CMM)

SETELAH MEMBACA TOPIK DIATAS PERTANYAANYA ADALAH :

APA YANG BISA KITA KORBANKAN

UNTUK KEMAJUAN ORGANISASI ILUNI KITA...???
SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA........

Comments :

0 komentar to “Idul Adha dan Semangat Pengorbanan”