Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Website www.alumni-sttind.com expired... mohon maaf atas ketidaknyamanan ini....

SELAMAT ATAS KELAHIRAN PUTRA BPK ARIF ZULKIFLI





Selamat Atas kelahiran Putra....Alumni kita Arif Zulkifli....

Lahir di RS Pertamina Balik Papan Hari Senin Tanggal 27 Juli 2009 jam 00.31

semoga bertambah kebahagiaan buat semua keluarga....
dan menjadi anak yang soleh dan berbakti...

Kami segenap alumni STTIND turut berbahagia.....

Doktor dan Phd, serta Doktor2an

Dari beberapa waktu belakangan ini gw kepikiran tentang perbedaan antara Doktor (Dr) dan PhD (Doctor of Philoshopy). Dari hasil diskusi dengan beberapa temen dan browsing di dunia maya, gw mencoba merangkum dalam tulisan berikut ini.

Dari beberapa sumber, PhD atau Doctor of Philoshopy merupakan gelar yang diberikan kepada seseorang yang telah menyelesaikan studi di tingkat Doktoral (tingkat S3). Dari gelar, seharusnya berkemampuan untuk menjadi seorang Doktor dan menguasai bidang ilmunya secara mendalam. Tidak sekedar mengetahui rumus dan metode, tapi juga memahami dasar, tujuan dan justifikasi dari rumus dn metode tersebut. Dari hal ini, banyak orang juga menyebut kan PhD sebagai Permanent Head Damage..

Di Indonesia, perbedaan antara Dr dan PhD relatif penting, karena universitas-universitas di Indonesia belum diakui secara internasional untuk menganugerahkan gelar PhD. Rata-rata studi PhD dapat ditempuh dalam waktu 4-6 tahun. 1 – 2 tahun awal biasanya diisi dengan mengambil kuliah-kuliah yang sekiranya akan mendukung penelitian dan meningkatkan peluang kelulusan dalam Qualifying Exam. Sisa masa studi digunakan untuk melakukan penelitian yang nantinya akan dituangkan dalam thesis/disertasi.

Harus menyusun proposal penelitian yang jelas dan mempertahankan proposal ini di depan panel yang berisi para profesor yang dirasa ahli di bidang penelitian tersebut. Umumnya ditempuh dalam 2 – 3 tahun pertama.

Indikator seorang PhD yang baik menurut banyak profesor adalah menguasai konsep dasar bidang ilmunya, sangat menguasai topik penelitiannya, up to date dengan perkembangan terkini bidangnya, dapat menemukan topik-topik penelitian yang berguna untuk kehidupan dan dapat menyumbangkan solusi bermutu dalam topik tersebut. Tapi menurut khalayak umum (yang menurut saya tidak tepat): banyak menulis makalah dan ikut seminar dimana-mana. Lulus dalam 3 tahun.

Sekarang tanpa kita sadari makin banyak orang, seperti pejabat publik, paranormal, dan pengusaha yang tiba-tiba menyandang gelar doktor atau bahkan profesor doktor, tetapi orang tidak mempedulikannya lagi. Seolah sudah dianggap normal.Tulisan ini dibuat dengan maksud untuk mengingatkan kepada kita tentang tetap pentingnya sikap kritis terhadap pemakaian gelar-gelar yang menyesatkan masyarakat itu. Jangan sampai hanya karena gelar itu sudah banyak disandang oleh para pejabat publik, dari wakil presiden,bupati, hingga kepala dinas, lantas kita diam saja. Bahkan, seorang paranormal-yang dunianya jauh dari bidang keilmuwan-pun sah menyandang gelar doktor.

Sampai sebelum menulis catatan ini, saya hanya mendengar ada dua macam gelar doktor, yaitu gelar doktor yang diraih oleh seseorang setelah selesai mengikuti program doktoral (S3) dan doktor honoris causa, yaitu gelar doktor yang diberikan kepada seseorang yang dipandang telah memberikan sumbangan besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Sekarang ini saya mengenal banyak macam doktor,setidaknya ada enam macam doktor.

Pertama, doktor disertasi, yaitu gelar doktor yang diraih oleh seseorang setelah yang bersangkutan selesai mengikuti program S3 danberhasil mempertahankan disertasinya di depan dewan penguji yang terdiri dari para guru besar. Disertasi itu sendiri ditulis berdasarkan hasil riset di bawah bimbingan seorang promotor yang ahli dalam bidangnya. Untuk dapat mengikuti program S3 itu seseorang harus melalui seleksi yang ketat, apalagi bila S3 itu ditempuh di negara-negara maju, setidaknya harus menguasai bahasa negara yang bersangkutan. Dalam perspektif saya, inilah gelar doktor yang sesungguhnya karena dicapai melalui proses yang panjang, kerja keras, dan tidak dapat dibeli atau diminta.

Kedua, doktor honoris causa (Dr HC), yaitu gelar doktor kehormatan yang diberikan kepada seseorang yang dianggap telah berjasa dalam bidang tertentu, terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Orang Indonesia yang terbanyak memperoleh gelar doktor HC adalah Presiden Soekarno. Orang tidak pernah mempersoalkannya karena Soekarno memang dianggap layak menyandang banyak gelar tersebut.Hal yang sama terjadi pada pemberian gelar Doktor HC kepada Ki Hadjar Dewantara sebagai seorang peletak dasar pendidikan nasional. Publik tidak pernah mempersoalkannya karena pikiran-pikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara sampai sekarang masih tetap menjadi acuan baik oleh birokrat maupun ahli-ahli pendidikan.
Gelar doktor HC yang tercecer di mana-mana sekarang ini sulit untuk dipertanggungjawabkan keilmuannya karena kita tidak tahu buah pikirannya, apalagi karya tulis atau karya lainnya, tetapi tiba-tiba menyandang gelar doktor honoris causa dari "Belgedes University",
misalnya. Ketiga, adalah gelar doktor humoris causa, yaitu gelar doktor yang diberikan kepada seseorang yang karena tingkat kecerdasannya mampu menciptakan humor-humor atau lelucon yang menghibur dan sekaligus mencerdaskan masyarakat. Orang-orang seperti Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Gus Mus (Mustofa Bisri), Jaya Suprana, Miing Bagito, Krisbiantoro, dan sebagainya adalah orang-orang yang pantas menerima anugerah doktor humoris causa tersebut.
Keempat, adalah doktor hororis causa, dari kata horor (menakutkan), yaitu gelar doktor yang diperoleh dari sumber dan cara yang tidak jelas. Ya, seperti "Belgedes University" tadi yang kampusnya ada di hotel-hotel, ruko, perkampungan yang disewa untuk itu, atau di luar negeri dan cara memperolehnya cukup dengan membayar uang sebesar Rp 1 juta-Rp 25 juta (tergantung ingin diwisuda di mana, di Indonesia atau di luar negeri). Jenis gelar doktor hororis causa itu sekarang marak sekali karena para penjual gelar itu berani mengobral iklan di media-media massa cetak. Saya sendiri beberapa kali memperoleh brosur untuk mengikuti ujian persamaan gelar BBA, MBA, MA, MSc, dan doktor, hanya dengan cara membayar uang Rp 1 juta-Rp 5 juta per gelar. Mayoritas para pembeli gelar doktor hororis causa itu adalah pejabat publik yang tidak percaya diri, paranormal, atau orang yang identitas dirinya tidak jelas. Karena status maupun lokasi kampusnya tidak jelas itu maka sering kali juga dijuluki "doktor kaki lima". Ya, karena dibeli dari para penjual gelar doktor yang ada di tempat-tempat tertentu, mirip seperti para pedagang kaki lima yang menggelar dagangan di pinggir-pinggir jalan. Praktik jual beli gelar (doktor dan profesor) itu sebetulnya sudah berlangsung sejak masa Orde Baru, hanya saja sifatnya halus. Beberapa Menteri Kabinet Orde Baru tiba-tiba dianugerahi gelar Doktor HC atau profesor dari universitas-universitas seperti Brawijaya, Airlangga, Gadjah Mada, dan Padjadjaran. Padahal, tidak jelas betul sumbangan keilmuwan sang menteri tersebut, sebab setelah mereka lengser, beberapa di antaranya ada yang menjadi tersangka korupsi.
Memang aneh dan lucu, tetapi itulah realitas yang terjadi dalam dunia akademik kita, yaitu ketika cendekiawan menghamba pada kekuasaan, maka sikap kritisnya pun digadaikan untuk membuatkan uraian ilmiah yang akan dibacakan oleh sang penguasa di depan senat universitas untuk ditukar dengan proyek. Kelima, adalah doktor tiban, yaitu gelar doktor yang tidak tahu asal-usul memperolehnya, tahu-tahu kita membaca bahwa yang bersangkutan telah menyandang gelar doktor, dua gelar sekaligus, meskipun yang bersangkutan tidak pernah mengikuti program S3, baik di dalam maupun di luar negeri.
Keenam, adalah doktor palsu, yaitu gelar doktor yang dipakai oleh seseorang yang bukan doktor (di luar kelima jenis doktor tersebut). Penulisan itu dilakukan berdasarkan kesengajaan maupun tidak sengaja, baik oleh orang yang bersangkutan maupun oleh orang lain. Beberapa orang terkemuka, seperti Kang Mohamad Sobary, Ignas Kleden (sebelummeraih gelar doktor), Syamsudin Haris, Dawam Rahardjo, Umar Juoro, atau Faisal Basri, kalau diundang ceramah oleh panitianya sering ditulis dengan gelar Dr (doktor). Jelas, itu bukan kehendak orang penceramah, tetapi kehendak panitia. Panitia pun menulis itu ada dua kemungkinan, yaitu tidak tahu sungguh-sungguh atau menganggap ilmu para penceramah sudah setingkat doktor, sehingga sepantasnya ditulis doktor. Pada kasus yang semacam itu pemakaian gelar doktor bukan suatu pembodohan, tetapi suatu penghargaan saja.

Adanya bermacam-macam jenis gelar itu juga ditemukan pada gelar MM (magister manajemen).
Pertama, MM sungguhan, yaitu gelar MM yang diperoleh dengan mengikuti kuliah program MM perguruan tinggi negeri (PTN)/perguruan tinggi swasta (PTS) yang resmi dan profesional, waktu kuliahnya antara 10-24 bulan. PTN/PTS penyelenggaranya juga memiliki program S1, sehingga bukan seperti kursus, tetapi PTN/ PTS sungguhan. Untuk dapat diterima sebagai mahasiswa MM juga melalui tes dan kuliahnya berlangsung secara reguler dengan bimbingan yang intensif. Kedua MM, Sabtu-Minggu. Gelar MM yang diraih dengan mengikuti kuliah program MM, tetapi kuliahnya hanya berlangsung pada hari Sabtu dan Minggu saja. Gelar ini banyak disandang oleh para pegawai negeri, yang membutuhkan status. Banyak pimpinan daerah yang mengadakan kerja sama dengan PTN/PTS yang menyelenggarakan program MM dengan motivasi yang muncul untuk peningkatan kualitas SDM. Tapi, di balik itu ada motif-motif bisnis karena sang pimpinan memperoleh komisi dari
PTN/PTS teman kerja samanya. Ketiga, MM jarak jauh. Gelar ini diperoleh dari mengikuti kuliah jarak jauh yang merupakan hasil kerja sama antara PTN/PTS lokal dengan PTN dari luar yang dianggap lebih berbobot, seperti model-model kelas jauh yang diramaikan itu. Gelar ini sah tetapi kualitasnya berbeda dengan MM sungguhan karena yang dibantukan hanya dosennya saja, padahal, dosen hanya merupakan salah satu komponen saja dalam proses pembelajaran. Keempat, MM kaki lima, yaitu gelar MM yang diperoleh dari lembaga-lembaga yang tidak jelas kredibilitasnya, yang perguruan tingginya
tidak memiliki program S1 tetapi tiba-tiba menyelenggarakan program MM dan lokasi kampusnya pun sembarang tempat: di hotel, lingkungan kampung yang disewa untuk itu, atau di pertokoan, baik dengan papan nama atau tidak. Jenis MM ini yang sekarang banyak disandang oleh masyarakat.

Sakitnya doktor sungguhan
Jika kita mendengarkan cerita kawan-kawan yang mengambil gelar doktor di luar negeri, maka kita dapat membayangkan betapa susahnya untuk mencapai gelar tersebut yang memerlukan waktu empat sampai delapan tahun dengan kerja keras. Saya sendiri tidak berani berupaya mencari gelar doktor sungguhan itu karena tidak tahan kerja kerasnya, di pengasingan lagi. Sekarang, tiba-tiba kita disodori kenyataan banyaknya orang bergelar doktor tanpa asal usulnya yang jelas. Bagi masyarakat awam yang tidak tahu proses mereka akan kagum pada semua yang bergelar doktor, sehingga penghargaannya pun akan sama, baik terhadap mereka yang bergelar doktor disertasi, honoris causa, humoris causa, hororis causa, maupun lainnya. Jika itu yang terjadi, maka sakit hatilah para doktor sungguhan itu karena kerja keras mereka selama bertahun-tahun disamakan dengan orang yang dapat membayar Rp 1 juta sampai Rp 25 juta.

dikutip dari catt Firdaus J